Pasca Perang Uhud
PASCA PERANG UHUD[1]
Banyaknya kaum Muslimin yang syahîd (gugur sebagai syahîd) dalam perang Uhud membuat orang-orang kafir mengira mental kaum Muslimin down. Dugaan ini membuat mereka semakin berani dan lancang terhadap kaum Muslimin. Terbukti dengan beberapa peristiwa pasca perang Uhud.
1. Perang Hamrâ’ul Asad
Tidak lama setelah perang Uhud, kaum musyrikin berniat untuk menyerang kembali demi menghabisi kaum Muslimin. Ketika mendengar rencana buruk mereka ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memobilisasi para shahabat beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam untuk menyongsong kedatangan musuh. Namun dalam perang kali ini, para shahabat yang diijinkan ikut hanyalah mereka yang sudah terjun dalam perang Uhud, kecuali Jâbir bin Abdullah Radhiyallahu anhuma yang diijinkan ikut meski beliau Radhiyallahu anhu absen dalam perang Uhud karena saat itu bapaknya menugaskannyanya menjaga saudara-saudara perempuannya di Madinah. Mesti kondisi fisik para shahabat belum pulih pasca perang Uhud, namun mereka tetap taat terhadap perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berangkat sampai disuatu daerah yang bernama Hamra’ul Asad [2].
Tentang peperangan ini, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ
(yaitu) Orang-orang yang mentaati perintah Allâh dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar [Ali Imrân/3:172][3]
Namun peperangan ini tidak berkecamuk, karena kaum kuffâr mengurungkan niatnya. Respon cepat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan keberanian, kemampuan beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam dalam menanggung beban dan kemampuan politik beliau juga keperibadian beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mudah menyerah dalam kondisi sulit. Juga tanggapan positif para shahabat beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan betapa mereka sangat taat dan bergegas melaksanakan perinatah Allâh dan rasul-Nya juga menunjukkan kesabaran mereka dalam memikul beban. Ini yang dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya,
الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ﴿١٧٢﴾الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ﴿١٧٣﴾فَانْقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ
“(yaitu) Orang-orang yang mentaati perintah Allâh dan Rasûl-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (Yaitu) Orang-orang (yang mentaati Allâh dan Rasûl) yang dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka”, Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allâh menjadi penolong kami dan Allâh adalah Sebaik-baik Pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allâh, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allâh. Dan Allâh mempunyai karunia yang besar.” [Ali Imrân/3:172-174]
2. Pasukan (Sariyah) Abi Salamah Radhiyallahu anhu
Berita tentang perang Uhud telah tersebar dan terdengar oleh kaum musyrik yang tinggal di sekitar Madinah. Ini mendorong Thulaihah al Asadi dan saudaranya Salamah memobilisasi Bani Asad bin Khuzaimah untuk melakukan penyerangan ke Madinah. Mereka ingin menguasai dan merebut kekayaan Madinah serta menampakkan dukungan mereka kepada Quraisy dalam memusuhi kaum Muslimin. Untuk memuluskan ambisi ini, mereka melakukan berbagai persiapan. Namun sebelum bergerak melakukan penyerangan, rencana busuk mereka ini sudah terdengar oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam segera memberikan respon dengan mengirim seratus lima puluh pasukan gabungan dari kaum Muhâjirîn dan Anshâr dibawah pimpinan Abu Salamah bin Abdul Asad Radhiyallahu anhu. Pasukan ini segera bergerak melakukan penyerangan ke daerah Qathan, tempat pasukan Thulaihah. Pasukan Thulaihah lari ketakutan meninggalkan berbagai harta yang mereka miliki. Akhirnya harta ini diambil oleh pasukan kaum Muslimin dibawa ke Madinah.
Peristiwa ini terjadi pada awal bulan Muharram di penghujung tahun ke-3 hijrah.
3. Pasukan Abdullah bin Unais
Dalam waktu yang tidak berselang lama dengan pengiriman pasukan Abu Salamah Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh juga mengirim pasukan ke Arafah. Disana ada Khâlid bin Abu Sufyân bin Nubaih al Hudzali yang tengah mengerahkan massa untuk menyerang Madinah. Pasukan kaum Muslimin ini dipimpin oleh Abdullah bin Unais al Jumahi. Sebelum mulai bergerak, Abdullâh bin Unais Radhiyallahu anhu terlebih dahulu meminta Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menjelaskan ciri-ciri Khâlid bin Sufyân bin Nubaih, sang provokator. Setelah dirasa cukup penjelasan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Unais Radhiyallahu anhu memimpin pasukannya untuk bergerak. Saat melihat orang yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan penjelasan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau Radhiyallahu anhu segera mengatur strategi untuk menyerangnya. Beliau Radhiyallahu anhu berhasil menyusun strategi dan akhirnya beliau Radhiyallahu anhu berhasil mengakhiri hidup Khâlid. Beliau Radhiyallahu anhu kembali ke Madinah dan melaporkan keberhasilannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjalankan tugas yang diembannya. Namun sebelum sempat berbicara, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah bisa membaca dari rona wajah Abdullâh. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak beliau Radhiyallahu anhu masuk rumah dan memberikannya tongkat yang dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tongkat ini akan menjadi bukti pada hari kiamat. Demi mengetahui fungsi tongkat ini, Abdullah bin Unais Radhiyallahu anhu menjaga tongkat pemberian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai wafat dan tongkat itu ditanam bersama jasad beliau Radhiyallahu anhu[4].
Pengikut Khâlid bin Sufyân al Hudzali tidak bisa menerima kematian komandan mereka dan berniat membalas dendam. Inilah yang mendorong mereka untuk menempuh cara licik. Pada bulan Shafar tahun ke-4 Hijrah utusan dari kabilah ‘Udhal dan al-Qarrah mendatangi Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Mereka meminta kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengirim beberapa shahabat beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajari mereka agama ini. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabulkan permintaan mereka dengan mengirim sepuluh[5] shahabat beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam dibawah pimpinan ‘Ashim bin Tsâbit al-aqlah Radhiyallahu anhu. Para shahabat yang terpilih ini mulai melakukan perjalanan tanpa ada rasa curiga.
Ketika tiba di lembah antara ‘Asfân dan Makkah, kedatangan mereka diberitahukan kepada penduduk salah satu kampung Hudzail yaitu Banu Lihyân. Bani Lihyaan tidak menyiakan-nyiakan kesempatan untuk membalas kematian komandan mereka. Mereka mengerahkan ratusan pasukan dan membuntuti para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sampai berhasil menyusul mereka. Menyadari bahaya yang sedang mengancam, ‘Ashim bin Tsâbit Radhiyallahu anhu beserta para shahabat lainnya segera menyelamatkan diri dengan mengambil posisi di atas bukit. Namun karena kalah jumlah, para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini terkepung. Ketika itu para pengepung ini memberikan janji, “Jika kalian mau turun, maka kami berjanji tidak akan membunuh seorangpun diantara kalian.” Ashim Radhiyallahu anhu yang diangkat oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pimpinan bertekad, “Saya tidak sudi turun dan berada dalam jaminan orang kafir.” Kemudian beliau Radhiyallahu anhu berdo’a, “Ya Allâh, beritahukanlah kepada nabi-Mu tentang keadaan kami.” Ucapan ini menyulut emosi para pengepung dan mendorong mereka melakukan penyerangan sehingga akhirnya 7 diantara para shahabat ini, termasuk Ashim Radhiyallahu anhu gugur sebagai syahîd dalam pertempuran ini. Dengan demikian, tersisa tiga orang yaitu Khubaib, Zaid dan satu orang lagi (dalam riwayat Ibnu Ishaq, orang ini adalah Abdullah bin Thariq).
Para pengepung ini mengulangi janji mereka. Mendengar janji manis ini, para shahabat yang tersisa menerimanya dan turun mengikuti kemauan mereka. Namun ketika para shahabat ini sudah berada dalam kekuasaan mereka, mereka mengingkari janji. Para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup ini diikat. Orang ketiga (yang bernama Abdullah bin Thâriq, sebagaimana riwayat Ibnu Ishâq) tidak terima dengan pengkhianatan ini dan beliau Radhiyallahu anhu berontak tidak mau mengikuti kemauan musuh-mush Islam ini, akhirnya beliau Radhiyallahu anhu dibunuh. Tinggallâh Khubab bin ‘Adiy dan Zaid bin Datsinnah Radhiyallahu anhuma yang menjadi tawanan. Keduanya digiring ke Mekah dengan tangan terikat lalu dijual ke kaum Quraisy.
Khubaib dibeli oleh Bani al Hârits bin ‘Amir bin Naufâl untuk dibunuh sebagai balasan atas terbunuhnya Hârits. Hârits sendiri terbunuh dalam perang Badar oleh Khubaib Radhiyallahu anhu. Bani Hârits mengurung Khubaib Radhiyallahu anhu sampai ada kesepakatan diantara mereka untuk mengeksekusinya. Pasca munculnya kesepakatan ini, suatu saat Khubaib Radhiyallahu anhu meminjam pisau ke salah seorang wanita Bani Hârits dan beliau Radhiyallahu anhu diberi pinjaman. Pada saat yang sama, sang wanita yang telah meminjamkan pisau ke Khubaib Radhiyallahu anhu ini agak lengah dalam menjaga anaknya. Sang anak berjalan menuju Khubaib Radhiyallahu anhu lalu duduk tenang di pangkuannya. Menyadari anaknya sedang berada di pangkuan tawanan dengan pisau tajam di tangan, sang ibu terperanjat. Dia sangat mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Dia takut Khubaib Radhiyallahu anhu membunuhnya sebagai bentuk pelampiasan amarahnya. Melihat gelagat ini, shahabat yang mulia Khubaib mengatakan, “Apakah anda khawatir aku akan membunuhnya ? Insya Allâh, Aku tidak akan pernah melakukan itu.”
Perempuan inilah yang mengatakan, “Aku tidak pernah melihat tawanan yang lebih baik daripada Khubaib Radhiyallahu anhu . Saya pernah melihat dia memakan setangkai anggur padahal kala itu di Mekah tidak ada buah-buahan dan dia pun sedang dalam keadaan terbelenggu rantai besi. Ini tiada lain hanyalah rizki dari Allâh Azza wa Jalla .” Lalu Bani Hârits membawa Khubaib Radhiyallahu anhu keluar dari daerah haram untuk di eksekusi. Ketika hendak dibunuh, Khubaib Radhiyallahu anhu meminta kepada mereka, “Ijinkan aku shalat dua raka’at !” Setelah mendapatkan ijin, beliau Radhiyallahu anhu shalat dua raka’at. Setelah itu, beliau Radhiyallahu anhu menoleh kearah orang-orang yang akan mengeksekusi beliau Radhiyallahu anhu sambil mengatakan, “Seandainya aku tidak khawatir kalian akan menduga bahwa apa yang lakukan ini hanyalah karena takut mati, maka tentu saya shalat lebih dari dua raka’at.” Jadilah Khubaib Radhiyallahu anhu orang pertama yang melakukan shalat dua raka’at ketika hendak akan dibunuh. Beliau Radhiyallahu anhu berdo’a, “Wahai Allâh, hitunglah jumlah mereka, binasakanlah mereka dan janganlah engkau menyisakan seorangpun dari mereka.” Beliau Radhiyallahu anhu juga membacakan syair, sebelum akhirnya dihampiri oleh Uqbah bin Hârits sang eksekutor dan dibunuhlah Khubaib Radhiyallahu anhu.[6] .
Diatas dijelaskan bahwa Zaid bin Datsinnah Radhiyallahu anhu dan Khubaib Radhiyallahu anhu dibawa ke Mekah dalam keadaan terborgol lalu dijual. Khubaib Radhiyallahu anhu dibeli Bani Hârits, sedangkan Zaid Radhiyallahu anhu dibeli Shafwân bin Umayyah untuk dibunuh sebagai tebusan atas tewasnya Umayyah bi Khalaf dalam perang badar. Saat beliau Radhiyallahu anhu digiring ke Tan’im meninggalkan tanah haram, ada beberapa orang Quraisy sedang berkumpul, salah satunya adalah Abu Sufyân. Abu Sufyân mengatakan, “Wahai Zaid, dengan nama Allâh, aku mau bertanya kepadamu, ‘Apakah engkau mau, posisimu saat ini diganti oleh Muhammad untuk kami penggal lehernya sementara engkau berada di tengah keluargamu ?” mendengar pertanyaan ini, Zaid menjawab, “Demi Allâh, saya tidak mau (mendengar atau melihat) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditempatnya sekarang ini terkena duri yang menyakitinya, sementara saya duduk-duduk di tengah keluargaku.” Abu Sufyân mengatakan, “Saya belum pernah melihat seseorang yang mencintai orang lain seperti cinta para shahabat nabi kepada Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam .” Kemudian beliau Radhiyallahu anhu dibunuh.[7]
Begitulah akhir keidupan para shahabat yang diutus oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajarkan agama ini kepada manusia. Bukan suatu yang mudah untuk mendakwahkan ajaran ini kala itu. Bahaya yang selalu mengintai menuntut pengorbanan bahkan pengorbanan nyawa.
Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa membuka hati kita dan akal pikiran untuk bisa mengambil pelajaran dari kisah-kisah para Salafus Shalih.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari kitab Sirah Nabawiyah di Dhau’il Mashaadiril ashliyah, hlm. 407-412 dan as-Sisatun Nabawiyyah as-shahihah, hlm.398 – 400
[2]. Suatu daerah yang berjarak kurang lebih 8 mil dari Madinah kearah Dzal Hulaifah.
[3]. HR Imam Bukhari, no. 4077, Muslim, no. 2418.
[4]. Riwayat ini kami bawakan dengan ringkas, bagi yang ingin melihat kisah ini selengkapnya bisa melihatnya pada riwayat Ibnu Ishâq rahimahullah dalam Sirah Ibnu Hisyâm 4/354-355 dengan sanad mun’qathi’. Baihaqi membawakannya dengan sanad lengkap tanpa putus dalam ad-Dalâ’il, 4/42-43 juga dalam as-Sunan dan sanadnya hasan. Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad dengan sanad yang sama; Abu Daud dalam as-Sunan, no. 2249 tanpa kisah tentang tongkat yang dikubur dan sanad beliau ini sama dengan sanad Ibnu Ishâq. Ibnu Hajar menilai sanadnya hasannya dalam kitab al-Fath, 15/260, Kitâbul Maqhâzi, Bab Ghazwati Rajî’. Lihat Sirah Nabawiyah di Dhau’il Mashaadiril ashliyah, hlm. 409
[5]. Ibnu Ishâq rahimahullah mengatakan, “Jumlah para shahabat yang dikirim itu enam orang.” Sementara Musa bin Uqbah rahimahullah menyebutkan bahwa jumlah mereka adalah tujuh.
[6]. Sebagian besar kisah ini ada dalam riwayat Imam Bukhari, al Fath, no. 4086
[7]. Ibnu Ishâq rahimahullah dengan tanpa sanad (Ibnu Hisyâm, 3/245); Ibnu Sa’d, 2/56 lewat jalur periwayatan Ibnu Ishâq dengan periwayatan yang mursal.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3901-pasca-perang-uhud.html